Sumbawa, 11 Mei 2025 — Isu pemindahan Ibu Kota Pusat Pemerintahan Sementara (PPS) dari Kabupaten Sumbawa ke Kota Bima yang beredar dalam beberapa bulan terakhir mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak, khususnya dari Prof. Din Syamsuddin. Dalam pernyataannya, Prof. Din menegaskan bahwa wacana tersebut tidak memiliki dasar historis maupun legal, serta berpotensi merusak semangat persatuan antara masyarakat Samawa dan Mbojo yang selama ini menjadi fondasi perjuangan pembentukan PPS.
Menurut Prof. Din, isu yang berkembang itu hanyalah gagasan sepihak dari beberapa pihak tertentu yang muncul belakangan, setelah melihat adanya peluang percepatan finalisasi pembentukan PPS pasca 11 tahun stagnasi akibat moratorium nasional.
“Itu baru sebatas keinginan sebagian pihak dalam beberapa bulan terakhir. Padahal, masalah Ibu Kota PPS sejatinya telah disepakati sejak tahun 2000, yakni berlokasi di Kabupaten Sumbawa,” tegas Prof. Din.
Kesepakatan Awal yang Terbukti dan Terdokumentasi
Penetapan Kabupaten Sumbawa sebagai Ibu Kota PPS bukanlah keputusan sepihak, melainkan hasil kesepakatan kolektif yang tercantum dalam dokumen autentik PPS. Dokumen tersebut telah disahkan oleh Pemerintah Provinsi NTB dan diperkuat dengan surat resmi Gubernur NTB kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR RI sebagai bagian dari proposal pembentukan DOB PPS.
Prof. Din juga mengungkapkan bahwa ia bersama tokoh-tokoh lain seperti H. Musa Efendi, Drs. Azis Parady, H. Suaeb Nuhung, SH, H. Amir Jawas, Drs. Nurlatif, Hj. Maryam Salahudin, H. Yakub MT, dan Dr. Salim telah terlibat langsung dalam pembahasan dan penetapan lokasi ibu kota PPS tersebut.
“Tidak pernah ada perubahan atau pembatalan atas kesepakatan itu. Maka dari itu, informasi yang seolah-olah hendak menggeser ibu kota PPS ke Bima sebaiknya tidak perlu ditanggapi serius, kecuali jika mayoritas masyarakat Bima benar-benar menginginkan perubahan domisili ibu kota secara terbuka dan formal,” jelasnya.
Sikap Tegas Tokoh-Tokoh Daerah: ‘Lebih Baik PPS Ditolak’
Kekhawatiran terhadap wacana pemindahan ini tidak hanya disuarakan oleh Prof. Din, tetapi juga oleh sejumlah tokoh penting dari wilayah Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). YM Sultan Sumbawa, Buya, Zul (mantan Bupati KSB), serta beberapa tokoh lainnya menegaskan bahwa jika kesepakatan lama tentang ibu kota PPS di Sumbawa diingkari, maka lebih baik perjuangan pembentukan PPS itu dihentikan.
“Mereka menyatakan, jika ibu kota yang telah disepakati dipindahkan ke Bima secara sepihak, tanpa musyawarah dan kesepakatan bersama, maka PPS sebaiknya ditolak. Karena ini menyangkut harga diri, komitmen sejarah, dan integritas perjuangan selama 25 tahun terakhir,” kata Prof. Din mengutip sikap para tokoh tersebut.
Langkah Strategis: Persiapan Dokumen Menyambut Pencabutan Moratorium
Meski diwarnai isu yang tidak sehat, perjuangan untuk pembentukan PPS tetap dilanjutkan secara konstitusional. Para penggagas PPS kini tengah menyiapkan dokumen pembaruan yang menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, guna menyambut kemungkinan dicabutnya moratorium dan diterbitkannya Peraturan Pemerintah terkait pembentukan DOB.
Prof. Din menekankan pentingnya kesiapan administratif agar PPS dapat bersaing secara sehat dengan lebih dari 360 calon DOB lainnya yang juga tengah menanti giliran.
Menjaga Kesatuan, Melawan Provokasi
Prof. Din mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tetap menjaga semangat kebersamaan dan tidak terpecah oleh provokasi atau kepentingan tertentu yang bisa merusak proses panjang yang sudah ditempuh. “PPS adalah hasil dari perjuangan kolektif, bukan milik satu kelompok atau wilayah tertentu. Maka semangatnya harus tetap satu, berdasarkan kesepakatan dan semangat kebersamaan,” tutupnya.