Provinsi Pulau Sumbawa: Aspirasi yang Tak Pernah Padam

Di balik bentangan perbukitan tandus dan pesisir eksotik Pulau Sumbawa, tersembunyi suara-suara lama yang belum sepenuhnya terdengar oleh pusat kekuasaan: suara tentang keadilan pembangunan, suara tentang pemekaran, dan suara tentang Provinsi Pulau Sumbawa (PPS).

Gagasan PPS bukan hal baru. Ia telah lahir dan tumbuh dalam diskusi-diskusi warga sejak awal dekade 2000-an. Namun seperti bara dalam sekam, ia menyala diam-diam, menghangatkan hati mereka yang terus berharap daerahnya bisa lebih berdaulat atas nasib sendiri. Kini, dengan hadirnya Survei Persepsi Masyarakat oleh My Institute, harapan itu kembali menguat, bahkan kian mantap berdiri.

Survei yang dilakukan sepanjang bulan April hingga Mei 2024 ini dilakukan di lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa: Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima. Survei lapangan ini dipimpin oleh Direktur My Institute, Miftahul Arzak, dan dilaksanakan oleh tim surveior yang dipimpin oleh Yadi Satriadi. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung penuh pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa sebagai bentuk ikhtiar untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan pelayanan publik.

“Kami bukan ingin memisahkan diri, kami hanya ingin mendapatkan perlakuan yang sama,” ujar seorang guru SD di Kabupaten Bima saat ditanya mengapa ia mendukung PPS.

Kata-katanya sederhana, tetapi menggambarkan denyut rasa yang selama ini tertahan. Sejak NTB terbentuk, Pulau Sumbawa sering merasa menjadi ‘halaman belakang’ dari pusat pemerintahan yang lebih berfokus pada pembangunan di Lombok.

Mengapa Mereka Mendukung?

Hasil survei My Institute menunjukkan bahwa alasan utama dukungan masyarakat terhadap PPS mencakup:

  1. Ketimpangan pembangunan antara Lombok dan Sumbawa yang dianggap tak kunjung terselesaikan.
  2. Jarak geografis dan kesulitan akses terhadap layanan pemerintahan provinsi di Mataram.
  3. Dorongan untuk pengelolaan potensi lokal yang lebih maksimal dan berpihak pada masyarakat setempat.

Tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga secara budaya dan sosial, warga Pulau Sumbawa merasa memiliki identitas tersendiri yang layak berdiri sebagai entitas administratif otonom.

“Kita ini bukan hanya minta dimekarkan. Kita sedang memperjuangkan masa depan anak-anak kita agar punya peluang hidup yang lebih baik,” ungkap seorang tokoh adat di Kecamatan Taliwang, Sumbawa Barat.

Keraguan Masih Ada

Namun, tak semua pihak satu suara. Dalam survei tersebut, sebagian responden juga menyampaikan keraguan terkait kesiapan birokrasi lokal, kemungkinan konflik elit, dan kekhawatiran soal pemborosan anggaran.

“Jangan-jangan cuma ganti nama, tapi tetap dikelola dengan cara lama,” ujar seorang aktivis muda di Kota Bima dengan nada skeptis.

Mereka mengingatkan agar PPS tidak hanya menjadi simbol baru, tetapi harus hadir sebagai solusi nyata bagi pelayanan dan kesejahteraan rakyat.

Masyarakat Ingin Perubahan Nyata

Dalam berbagai diskusi publik yang digelar di sejumlah titik selama masa survei, terlihat jelas bahwa masyarakat tidak lagi sekadar berbicara soal status administratif. Mereka ingin pelayanan pendidikan dan kesehatan yang merata, akses jalan dan transportasi yang layak, serta pemanfaatan potensi lokal seperti peternakan, perikanan, dan pariwisata untuk meningkatkan ekonomi daerah.

“Kalau hanya provinsinya terbentuk, tapi rakyatnya tetap miskin, itu artinya gagal,” ungkap seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Woja, Dompu.

Siapa yang Harus Menjawab?

Dengan hasil survei yang menunjukkan dukungan publik secara nyata, kini bola ada di tangan pemerintah pusat dan DPR RI. Aspirasi yang telah dirawat selama puluhan tahun ini membutuhkan komitmen politik, kesiapan teknokratis, dan keberanian negara untuk bertindak adil.

Survei My Institute menjadi catatan penting bahwa wacana PPS bukan lagi sekadar mimpi, melainkan suara yang hidup dan tumbuh dari bawah. Tinggal bagaimana pemerintah meresponsnya dengan langkah nyata, bukan sekadar janji.

Dan sementara proses itu berlangsung, suara-suara dari Sumbawa akan terus bergema. Di sekolah-sekolah pelosok, di pasar-pasar tradisional, di panggung diskusi kampus, dan bahkan dalam doa-doa para ibu—mereka terus menyebut satu harapan: “Semoga Sumbawa bisa berdiri sejajar. Semoga PPS bukan mimpi yang abadi.”


Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis berdasarkan hasil Survei Persepsi Publik oleh My Institute (April–Mei 2025), wawancara lapangan, serta tayangan diskusi publik yang tersedia di kanal YouTube: Kajian Provinsi Pulau Sumbawa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top