Pemekaran Provinsi NTB: Menimbang Efektivitas Desentralisasi dan Risiko Fragmentasi Politik

Abstrak:
Wacana pemekaran wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama melalui pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa, kembali menjadi topik strategis dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Artikel ini menganalisis pemekaran tersebut dalam kerangka desentralisasi, dengan menimbang potensi dampaknya terhadap efektivitas pemerintahan, ketimpangan pembangunan, serta risiko fragmentasi sosial dan politik. Berdasarkan tinjauan kritis terhadap dinamika lokal dan kecenderungan nasional, tulisan ini menyimpulkan bahwa pemekaran hanya akan bermakna jika didasarkan pada kajian objektif, kesiapan kelembagaan, dan partisipasi publik yang luas, bukan semata pertimbangan politis jangka pendek.

1. Pendahuluan

Desentralisasi merupakan strategi pemerintahan Indonesia pascareformasi yang bertujuan meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan mendorong pemerataan pembangunan (Anderson, 2014). Salah satu instrumen utamanya adalah pemekaran wilayah administratif. Namun, dalam praktiknya, pemekaran kerap kali menjadi ruang kompromi politik, alih-alih proses teknokratis berbasis kajian kebijakan (Rasyid, 2003). Hal ini tampak dalam wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dari induk wilayah NTB.

Munculnya dukungan dari aktor lokal seperti Forum Pemekaran Pulau Sumbawa (FPPS) dan beberapa anggota DPRD NTB menunjukkan bahwa isu ini telah melampaui diskursus administratif dan bertransformasi menjadi strategi politik regional. Maka, penting untuk menelaah sejauh mana pemekaran ini merupakan solusi bagi ketimpangan pembangunan, dan sejauh mana ia justru membuka ruang bagi fragmentasi sosial dan politik.

2. Desentralisasi dan Rasionale Pemekaran

Secara normatif, pemekaran wilayah dimaksudkan untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat dan mempercepat pemerataan pembangunan. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan hukum bagi pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), dengan syarat memenuhi kriteria administratif, teknis, dan kewilayahan.

Di NTB, disparitas pembangunan antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa menjadi argumen utama pendukung pemekaran. Namun demikian, evaluasi atas DOB di Indonesia menunjukkan banyak kegagalan dalam memenuhi tujuan tersebut. Sebagian besar provinsi dan kabupaten hasil pemekaran belum mandiri secara fiskal dan bergantung pada dana transfer pusat (Kementerian Dalam Negeri RI, 2020; Suwarno, 2011). Dalam konteks NTB, belum terdapat kajian publik menyeluruh terkait kesiapan ekonomi, kapasitas kelembagaan, serta proyeksi pembangunan jangka panjang dari daerah calon pemekaran.

3. Risiko Fragmentasi Sosial dan Politik

NTB memiliki struktur sosial yang kompleks, dengan keberagaman etnis, budaya, dan sejarah politik. Pemisahan administratif yang tidak diikuti oleh rekonsiliasi identitas berisiko memperkuat polarisasi antardaerah. Dalam konteks Pulau Sumbawa dan Lombok, terdapat potensi segregasi simbolik yang berakar dari representasi politik dan persepsi ketimpangan selama ini.

Lebih jauh, pemekaran wilayah kerap membuka ruang baru bagi kontestasi elite. Jabatan struktural baru, anggaran pemerintah, dan konfigurasi pemilih menjadi insentif kuat bagi kelompok-kelompok politik untuk mendorong pemekaran. Fenomena ini berisiko menciptakan struktur kekuasaan baru yang tidak lebih akuntabel daripada struktur sebelumnya (Harson & Pramusinto, 2018), bahkan berpotensi memperkuat dinasti politik lokal (Buehler, 2010).

4. Kajian Kelayakan dan Partisipasi Publik

Untuk menghindari kegagalan yang serupa dengan pengalaman pemekaran lainnya, pemerintah perlu menempuh proses berbasis kajian kelayakan yang objektif dan multidisipliner. Hal ini mencakup:

  • Penilaian atas kapasitas fiskal dan kelembagaan,
  • Analisis kebutuhan infrastruktur pelayanan publik,
  • Simulasi dampak sosial-politik dan ekonomi jangka panjang,
  • Jaminan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan.

Tanpa itu semua, pemekaran berpotensi menjadi kebijakan yang memperluas birokrasi, membebani fiskal negara, dan menciptakan ketimpangan serta konflik baru.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Pemekaran wilayah di NTB hanya akan produktif bila dijalankan secara rasional, terencana, dan partisipatif. Pemerintah pusat dan DPR RI harus menempatkan wacana ini dalam kerangka pembangunan jangka panjang yang berbasis data dan bukti, bukan tekanan politik sesaat. Diperlukan audit kebijakan mendalam terhadap seluruh proses pemekaran di Indonesia, guna memastikan bahwa setiap DOB benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas tata kelola pemerintahan.

Sebaliknya, bila pemekaran hanya menjadi arena baru pembagian kekuasaan elite, maka negara hanya akan mengulangi siklus pembentukan daerah yang tidak produktif—di mana pemekaran berubah menjadi pembelahan.


Daftar Pustaka

Anderson, J. E. (2014). Public policymaking (8th ed.). Cengage Learning.

Buehler, M. (2010). Decentralisation and local democracy in Indonesia: The marginalisation of the public sphere. In E. Aspinall & M. Mietzner (Eds.), Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (pp. 267–285). ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Harson, A., & Pramusinto, A. (2018). Political dynasties and decentralization in Indonesia. Journal of Government and Politics, 9(3), 367–387. https://doi.org/10.18196/jgp.93129

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2020). Evaluasi terhadap Daerah Otonomi Baru (DOB). Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah.

Rasyid, M. R. (2003). Regional autonomy and local politics in Indonesia. Asian Survey, 43(4), 613–624. https://doi.org/10.1525/as.2003.43.4.613

Suwarno, W. (2011). Evaluasi kebijakan pemekaran wilayah di Indonesia: Studi pada pemekaran kabupaten/kota. Jurnal Administrasi Publik, 8(2), 150–166.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top